MAKALAH
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
“Pemikiran
Filsafat Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih”
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Pendidikan Islam
Dosen Pengampu :
Ahmad Muzzakil Anam, M. Pd.I
Disusun Oleh:
Siti Rahmawati (163221222)
Ersa Nur Arodjiah (163221242)
Nico Febriantsyah E. S (163221231)
Kelas: 3G/PBI
PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Allah Swt, karena atas limpahan
rahmat serta karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih”. Sholawat serta salam senantiasa
tercurahkan kepada uswatun khasanahkita, Nabiyullah Muhammad Saw yang
selalu kita nantikan syafa’atnya di akhir zaman nanti.
Penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Ilmu Pendidikan yang diberikan oleh Bapak Ahmad Muzakkil Anam, M. Pd.I. Pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak dosen yang telah memberikan bimbingan
serta pengajaran dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Maka penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun untuk perbaikan
makalah ini. Harapan penulisa dan yama kalah ini dapat membantu proses belajar serta
menambah pengetahuan pembaca.
Surakarta, November 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pendidikan Islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yang
dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial,
untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fitrah) maupun ajar yang sesuai
dengan fitrahnya melalui proses intelektual dan spritual berlandaskan nilai
islam untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat. Pembahasan mengenai
pemikiran pendidikan Islam, erat kaitannya dengan warna karya-karya filosof
yang memiliki pandangan yang cemerlang. Banyak nama-nama besar yang terpatri dalam
khazanah filsafat pendidikan Islam. Salah satunya adalah Ibnu Miskawaih yang
terkenal dengan pemikiran tentang al nafs dan al akhlaq. Ibnu Miskawaih
dikenal sebagai “Bapak Etika Islam” yang memandang penting arti pendidikan dan lingkungan
bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq.
Fenomena pada zaman sekarang masih banyak pengajaran pendidikan
Islam yang belum bisa menyentuh pendidikan akhlaq secara sempurna. Bisa dilihat
darif akta yang ada yaitu nilai-nilai akhlaq yang baik belum bisa tercermin dalam
keseharian sehingga menimbulkan adanya permasalahan-permasalan yang berkaitan dengan
penyakit moral. Jika perbaikan hendak dilakukan maka perlu mengulas kembali pemikiran
filsafat pendidikan Islam Ibnu Miskawaih ini yang menawarkan aspek akhlaq
sebagai solusi perbaikan dari akarnya.
1.2.
Rumusan Masalah
1.2.1.
Biografi Ibnu Miskawaih?
1.2.2.
Apa saja karya-karya Ibnu Miskawaih?
1.2.3.
Bagaimana Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam menurut Ibnu Miskawaih?
1.3.
Tujuan
1.3.1.
Mengetahui biografi serta karya-karya Ibnu Miskawaih.
1.3.2.
Mengetahui konsep pemikiran filsafat pendidikan Islam Ibnu Miskawaih.
1.3.3.
Mengetahui pemikiran
filsafat pendidikan Islam di zaman Ibnu Miskawaih apakah masih relevan dengan pendidikan
saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Biografi Ibnu
Miskawaih
Ibnu Miskawaih memiliki nama lengkap Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin
Ya’qub bin Miskawaih. Beliau lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932 M) dan
wafat di Asfahan pada 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah
kepada Abu Bakar Ahmad bin Kamil Al-Qadhi (350/960) tentang buku Tarikh
al-Thabrani, dan belajar filsafat kepada Ibnu al-Khammar, seorang komentator
terkenal mengenai filsafat Aristoteles.Selain itu Miskawaih menyerap ilmu kimia
dari Abu al-Thayyib al Razi, seorang ahli kimia. Disiplin ilmunya meliputi
kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai
seorang filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Bisa jadi, hal ini dipicu
oleh kekacauan masyarakat pada masanya. Menurut Jurji Zaidan, Ibnu Miskawaih diindikasikan
sebagai Majusi yang kemudian masuk Islam. Namun dalam pendapat Yaqut pengarang Dairal al-Ma’arif al-Islamiyyah, neneknyalah yang Majusi kemudian masuk Islam.[1]
Namun yang jelas Ibnu Miskawaih terlahir dalam keluarga Islam yang ditandai dari nama ayahnya, Muhammad. Selain itu Ibnu Miskawaih merupakan penganut Syi’ah. Indikasi ini
didasarkan pada pengabdiannya pada sultan dan wazir-wazir Syi’ah dalam masa
pemerintahan Bani Buwaihi (320-448 M).
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Ibnu Miskawaih hidup pada
masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi. Puncak
prestasi atau zaman keemasan kekuasaan Bani Buwaihi adalah pada masa ’Adhud Ad
Daulah yang berkuasa dari tahun 367 hingga 372 H. Pada masa inilah Ibnu Miskawaih
memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan dan pada masa ini jugalah Ibnu
Miskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetapi
di samping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hatinya, yaitu kemerosotan
moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya ia lalu tertarik
untuk menitik beratkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
Setelah kematian Mu’izz, beliau telah dilantik menjadi Ketua
Perpustakaan. Ini telah membuka peluang kepada Ibnu Miskawaih untuk menambah
ilmu pengetahuan karena beliau berpeluang untuk membaca berbagai buku yang
ditulis oleh para ilmuan Islam dan Yunani. Beliau kemudian dilantik menjadi
Ketua Pemegang Amanah Khazanah yang bertanggungjawab menjaga perpustakaan Malik
Adhdud Daulah. Sehubungan dengan itu, hasil ketekunan dan kerajinan beliau
dalam mencari ilmu pengetahuan akhirnya memberi hasil yang bernilai kepadanya.
Ibnu Miskawaih telah berhasil membina dan membuktikan ketokohannya sebagai
ilmuan yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang.
2.2.
Karya-karya
Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaiah selain
dikenal sebagai pemikir (filosuf), ia juga sebagai penulis produktif. Dalam
buku The History of the Muslim Philosophy seperti yang dikutip oleh Sirajuddin
Zar disebutkan beberapa tulisannya sebagai berikut:
a. Al Fauz al Akbar
(mengenai ketuhanan, kejiwaan dan kenabian/etika).
b. Al Fauz al Asghar
(metafisika).
c. Tajarib al Umam
(sebuah sejarah tentang banjir besar yang ia tulis pada tahun 369 H/979 M).
d. Uns al Farid
(Koleksi anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah).
e. Tartib al Sa`adat (tentang
akhlak dan politik).
f. Al Mustaufa (tentang
syair-syair pilihan).
g. Jawidzan Khirad (koleksi
ungkapan bijak).
h. Al Jami’.
i.
Al Siyar (tentang aturan hidup).
j.
Kitab al Ashribah (tentang minuman).
k. Kitab al-Adawiyah (tentang obat-obatan).
l.
Tahzib al Aklaq wa That hir al ‘Araq (tentang etika).
m. Risalat fi al Lazzat
wa al Alam fi Jauhar al Nafs.
n. Ajwibat wa As`ilat
fi al Nafs wa al `Aql (tentang jiwa dan akal).
o. Thaharat al Nafs.
p. al-siyar (tentang
tingkah laku kehidupan).
q. Laqz Qabis (kumpulan
risalah).
r.
Badi’al-zaman al-hamazani (kaidah sya’ir).
s. Al Muqaddimah al
Zikr (petuah-petuah).
t.
‘Asyar (kumpulan syair-syair).
Menurut Ahmad Amin
sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa semua karya Ibnu Miskawaih
tidak luput dari kepentingan filsafat
dan akhlak. Sehubungan dengan itu Ibnu Miskawaih dikenal sebagai moralis.
2.3.
Pemikiran
Filsafat Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih
Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
bertumpu pada pendidikan akhlak yang bertujuan untuk mewujudkan pribadi susila,
berwatak, berbudi pekerti mulia, sehingga diperoleh kebahagiaan sejati dan
sempurna. Pribadi yang susila, berwatak, berbudi pekerti mulia lahir dari
perilaku-perilaku luhur, sedangkan perilaku luhur tersebut diperoleh dari jiwa atau
watak yang baik. Untuk mendapatkan watak yang baik diperlukan adanya
pendidikan. Maka dahulu Ibnu Miskawaih sempat menolak pemikir Yunani yang
mengatakan bahwa watak tidak bisa dididik, karena watak itu alami.
Maksud dari watak disini adalah al-khulqu yang artinya suatu
“kondisi jiwa” yang mendorong lahirnnya tingkah laku tanpa adanya proses
berpikir dan pertimbangan. Kondisi jiwa dibagi menjadi dua, yaitu kondisi alami
dan kondisi yang diperoleh dari kebiasaan setelah suatu perilaku dilakukan berulang
meskipun pada mulanya dilakukan dengan sengaja.
Menurut Ibnu Miskawaih jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang
bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebut kanurutannya sebagai
berikut:
a)
Al nafs bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
b)
Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang.
c)
Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.
Ibnu Miskawaih selalu menekankan pentingnya pembinaan akhlak, maka beliau memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak. Masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Masa ini, pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani dan dimulainya ufuk manusiawi.[2] Sehingga, anak-anak harus dididik akhlaq
mulia dengan menyesuaikan rencana-rencananya atau materi pendidikan akhlak dengan
urutan daya-daya yang ada pada anak-anak, yaitu daya berpikir, daya keberanian dan
daya keinginan.
Dari ketiga daya tersebut lahirlah masing-masing sifat kebajikan yaitu hikmah, keberanian, dan kesederhanaan. Bila ketiga sifat kebajikan ini dapat berjalan serasi maka lahirlah sifat kebajikan yang keempat, yaitu adil. Sebaliknya lawan dari keempat sifat tersebut adalah bodoh, penakut, rakus, dan dzalim.[3]
2.3.1.
Materi pendidikan
Pendidikan akhlak menurutnya harus mencakup tiga hal pokok, yaitu
pertama, hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, seperti: shalat,
puasa, dan sa’i. Kedua, hal-hal yang wajib bagi jiwa, seperti: aqidah yang
benar, mengesakan Allah. Ketiga, hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia, seperti: materi dalam ilmu mu’amalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, dll.
Ketiga materi pendidikan akhlaq tersebut dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (al ‘ulum al-fikriyah) dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indra (al ‘ulum al-hissiyyah). Dalam ketiga materi
tersebut dapat dipahami bahwa pada materi pertama tergambar pada pendidikan jasmani,
materi kedua tergambar dalam pendidikan ruhani
dan materi ketiga tergambar dalam pendidikan ketrampilan yang keseluruhan dari ketiga
materi tersebut selalu terkait dengan pendidikan akhlak.
Ilmu-ilmu yang diajarkan tersebut bukan semata-mata demi tujuan akademis dalam pendidikan melainkan untuk mencapai substansi utamanya yaitu terciptanya kepribadian yang berakhlak mulia. Disamping itu, karena manusia merupakan makhluk sosial, maka memiliki kaitan erat dengan lingkungannya. Menurut Ibnu Miskawaih, kondisi lingkungan terkait dengan kondisi politik pemerintah. Sehingga untuk mencapai manusia yang berakhlak mulia, tidak saja tergantung pada proses pendidikan tetapi juga tergantung pada lingkungan tempat manusia itu hidup.
2.3.2.
Metode pendidikan
a.
Metode alami
(tabi’iy)
Ibnu
Miskawaih mengatakan bahwa ide pokok dari metode alami ini adalah dalam
pelaksanaan kerja dan proses mendidik itu berdasarkan atas pertumbuhan dan
perkembangan manusia lahir batin, dan jasmaniah dan rohaniah.
b.
Nasihat dan
tuntunan
Ibnu
Miskawaih menyatakan supaya anak menaati syariat dan berbuat baik diperlukan
nasihat dan tuntunan.
c.
Metode Hukuman
Ibnu
Miskawaih mengindikasikan banyak sekali yang dapat dilakukan dalam mendidik
salah satunya jika peserta didik tidak melaksanakan tata nilai yang telah
diajarkan, mereka diberi sanksi berbagai cara sehingga mereka kembali pada
tatanan nilai yang ada.
d.
Sanjungan dan
pujian sebagai metode pendidikan
Menurutnya
apabila peserta didik melaksanakan syariat dan berprilaku baik dia perlu
dipuji.
e.
Mendidik
berdasarkan asas-asas pendidikan
Menurutnya
mendidik harus berdasarkan asas-asas pendidikan yaitu asas kesiapan,
keteladanan, kebiasaan, dan pembiasaan.
Pendidik yang dalam hal
ini guru, instruktur, ustadz, atau dosen memegang peranan penting dalam
keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa,
peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan
pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama.
Perbedaan anak didik yang menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode,
pendekatan dan sebagainya.
Kedua aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) ini mendapat
perhatian yang khusus dari Ibnu Miskawaih. Menurutnya, orang tua merupakan
pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat sebagai acuan utama
materi pendidiknya. Karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam
kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua
dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang
terhadap gurunya, menurut Ibnu Miskawaih harus melebihi cintanya terhadap orang
tuanya sendiri.
Adapun
yang dimaksud guru biasa oleh Ibnu Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar
guru formal karena jabatan. Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki
berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya; pandai; dicintai; sejarah
hidupnya jelas tidak tercemar di masyarakat. Disamping itu, ia hendaknya
menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang
dididiknya.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Ibnu Miskawaih yang memiliki nama lengkap Abu Ali Ahmad bin
Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih, beliau dikenal sebagai “Bapak Etika Islam”
dan tokoh moralis yang lahir dalam keluarga Islam yang ditunjukkan dengan nama
ayahnya, yaitu Muhammad. Meskipun ada beberapa pendapat tokoh Barat yang
mengatakan bahwa beliau seorang Majussi, mengikuti neneknya yang kemudian
neneknya masuk Islam. Ada juga yang mengatakan bahwa Ibnu Miskawaih adalah Syi’ah
dikarenakan beliau lama mengabdi pada Dinasti Buwaihi dan selalu mendapatkan
posisi strategis disana. Akan tetapi, karena pengabdiannya itu membuahkan
hasil. Akhirnya beliau diangkat menjadi Ketua Pemegang Amanah Khazanah yang
bertanggungjawab menjaga perpustakaan Malik Adhdud Daulah. Karena itulah Ibnu
Miskawaih semakin banyak mengkaji buku-buku filsafat Islam dan Yunani dalam
perpustakaan tersebut hingga menjadikan beliau seorang ilmuan yang memiliki
ilmu yang luas dalam berbagai bidang. Salah satunya adalah pemikiran filsafat
mengenai pendidikan Islam.
Beliau
merupakan seorang penulis yang produktif, hingga banyak buku yang ditulis
beliau. Karya-karya beliau pada umumnya berbicara tentang jiwa dan akhlak
(etika). Sesuai dengan pemikiran filsafat beliau mengenai pendidikan Islam yang
menekankan pada aspek etika. Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak yang bertujuan untuk
mewujudkan pribadi susila, berwatak, berbudi pekerti mulia, sehingga diperoleh
kebahagiaan sejati dan sempurna. Hal ini sejalan dengan yang diajarkan
Rasulullah saw mengenai penyempurnaan akhlak manusia. Ibnu Miskawaih selalu
memberikan perhatian khusus pada pendidikan anak-anak. Karena menurut beliau
pada masa anak-anaklah seharusnya pendidikan akhlak diajarkan melalui keluarga
sebagai lembaga pendidiknya dan syari’at Islam sebagai bahan ajarnya. Tentunya
dalam segala proses pendidikan baik di lembaga formal maupun informal bukan
hanya sekedar formalitas belaka, meliainkan untuk mencapai substansi utamanya
yaitu menjadikan manusia yang bermoral yang memiliki akhlak mulia. Beliau
membolehkan siapapun untuk menjadi apapun asalkan pendidikan etika selalu
diajarkan di awal kehidupan seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Boedi. 2015.SejarahFilsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia
Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras
Nasution, Hasyimsyah. 2013. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya
Media Pratama
Nasution, Hasyimsyah. 2015. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya
Media Pratama
Sahrodin. 2016. Pemikiran Pendidikan menurut Ibnu Miskawaih dan IbnuSina. Jurnal An-Nur, (Online), Vol. 3, No. 2, (http://ejournal.stainnur.ac.id,
diakses 16 November 2017).
Normuslim. 2003. Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih dan Al-Qabisi, Relevansinya dengan Sistem Pendidikan Kontemporer. JurnalHimmah, (Online), Vol. IV,
No. 09, (http://fauziannor.files.wordpress.com, diakses 16 November 2017).
[1] Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2015), hlm. 55.
[2] Daudy, hlm.
62. Lihat juga Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2013), hlm. 65.
[3] Abdurrahman
Badawi, “Miskawaih”, dalam Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2015), hlm. 62.