Senin, 04 Februari 2019

Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih-Siti Rahmawati




MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
“Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu :
Ahmad Muzzakil Anam, M. Pd.I
Description: E:\TUGAS KULIAH\logo iain.png
Disusun Oleh:
Siti Rahmawati                       (163221222)
Ersa Nur Arodjiah                   (163221242)
Nico Febriantsyah E. S           (163221231)
Kelas: 3G/PBI

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Allah Swt, karena atas limpahan rahmat serta karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih”. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada uswatun khasanahkita, Nabiyullah Muhammad Saw yang selalu kita nantikan syafa’atnya di akhir zaman nanti.
Penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan yang diberikan oleh Bapak Ahmad Muzakkil Anam, M. Pd.I. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak dosen yang telah memberikan bimbingan serta pengajaran dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini. Harapan penulisa dan yama kalah ini dapat membantu proses belajar serta menambah pengetahuan pembaca.
Surakarta, November 2017

Penulis








BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Pendidikan Islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fitrah) maupun ajar yang sesuai dengan fitrahnya melalui proses intelektual dan spritual berlandaskan nilai islam untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat. Pembahasan mengenai pemikiran pendidikan Islam, erat kaitannya dengan warna karya-karya filosof yang memiliki pandangan yang cemerlang. Banyak nama-nama besar yang terpatri dalam khazanah filsafat pendidikan Islam. Salah satunya adalah Ibnu Miskawaih yang terkenal dengan pemikiran tentang al nafs dan al akhlaq. Ibnu Miskawaih dikenal sebagai “Bapak Etika Islam” yang memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq.
Fenomena pada zaman sekarang masih banyak pengajaran pendidikan Islam yang belum bisa menyentuh pendidikan akhlaq secara sempurna. Bisa dilihat darif akta yang ada yaitu nilai-nilai akhlaq yang baik belum bisa tercermin dalam keseharian sehingga menimbulkan adanya permasalahan-permasalan yang berkaitan dengan penyakit moral. Jika perbaikan hendak dilakukan maka perlu mengulas kembali pemikiran filsafat pendidikan Islam Ibnu Miskawaih ini yang menawarkan aspek akhlaq sebagai solusi perbaikan dari akarnya.

1.2.   Rumusan Masalah
1.2.1.      Biografi Ibnu Miskawaih?
1.2.2.      Apa saja karya-karya Ibnu Miskawaih?
1.2.3.      Bagaimana Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam menurut Ibnu Miskawaih?


1.3.   Tujuan
1.3.1.      Mengetahui biografi serta karya-karya Ibnu Miskawaih.
1.3.2.      Mengetahui konsep pemikiran filsafat pendidikan Islam Ibnu Miskawaih.
1.3.3.      Mengetahui pemikiran filsafat pendidikan Islam di zaman Ibnu Miskawaih apakah masih relevan dengan pendidikan saat ini.


















BAB II
PEMBAHASAN
2.1.  Biografi Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih memiliki nama lengkap Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih. Beliau lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932 M) dan wafat di Asfahan pada 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah kepada Abu Bakar Ahmad bin Kamil Al-Qadhi (350/960) tentang buku Tarikh al-Thabrani, dan belajar filsafat kepada Ibnu al-Khammar, seorang komentator terkenal mengenai filsafat Aristoteles.Selain itu Miskawaih menyerap ilmu kimia dari Abu al-Thayyib al Razi, seorang ahli kimia. Disiplin ilmunya meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Bisa jadi, hal ini dipicu oleh kekacauan masyarakat pada masanya. Menurut Jurji Zaidan, Ibnu Miskawaih diindikasikan sebagai Majusi yang kemudian masuk Islam. Namun dalam pendapat Yaqut pengarang Dairal al-Ma’arif al-Islamiyyah, neneknyalah yang Majusi kemudian masuk Islam.[1] Namun yang jelas Ibnu Miskawaih terlahir dalam keluarga Islam yang ditandai dari nama ayahnya, Muhammad. Selain itu Ibnu Miskawaih merupakan penganut Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya pada sultan dan wazir-wazir Syi’ah dalam masa pemerintahan Bani Buwaihi (320-448 M).
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi. Puncak prestasi atau zaman keemasan kekuasaan Bani Buwaihi adalah pada masa ’Adhud Ad Daulah yang berkuasa dari tahun 367 hingga 372 H. Pada masa inilah Ibnu Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan dan pada masa ini jugalah Ibnu Miskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetapi di samping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hatinya, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya ia lalu tertarik untuk menitik beratkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
Setelah kematian Mu’izz, beliau telah dilantik menjadi Ketua Perpustakaan. Ini telah membuka peluang kepada Ibnu Miskawaih untuk menambah ilmu pengetahuan karena beliau berpeluang untuk membaca berbagai buku yang ditulis oleh para ilmuan Islam dan Yunani. Beliau kemudian dilantik menjadi Ketua Pemegang Amanah Khazanah yang bertanggungjawab menjaga perpustakaan Malik Adhdud Daulah. Sehubungan dengan itu, hasil ketekunan dan kerajinan beliau dalam mencari ilmu pengetahuan akhirnya memberi hasil yang bernilai kepadanya. Ibnu Miskawaih telah berhasil membina dan membuktikan ketokohannya sebagai ilmuan yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang.

2.2.  Karya-karya Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaiah selain dikenal sebagai pemikir (filosuf), ia juga sebagai penulis produktif. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy seperti yang dikutip oleh Sirajuddin Zar disebutkan beberapa tulisannya sebagai berikut:
a.       Al Fauz al Akbar (mengenai ketuhanan, kejiwaan dan kenabian/etika).
b.      Al Fauz al Asghar (metafisika).
c.       Tajarib al Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ia tulis pada tahun   369 H/979 M).
d.      Uns al Farid (Koleksi anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah).
e.       Tartib al Sa`adat (tentang akhlak dan politik).
f.       Al Mustaufa (tentang syair-syair pilihan).
g.      Jawidzan Khirad (koleksi ungkapan bijak).
h.      Al Jami’.
i.        Al Siyar (tentang aturan hidup).
j.        Kitab al Ashribah (tentang minuman).
k.      Kitab al-Adawiyah (tentang obat-obatan).
l.        Tahzib al Aklaq wa That hir al ‘Araq (tentang etika).
m.    Risalat fi al Lazzat wa al Alam fi Jauhar al Nafs.
n.      Ajwibat wa As`ilat fi al Nafs wa al `Aql (tentang jiwa dan akal).
o.      Thaharat al Nafs.
p.      al-siyar (tentang tingkah laku kehidupan).
q.      Laqz Qabis (kumpulan risalah).
r.        Badi’al-zaman al-hamazani (kaidah sya’ir).
s.       Al Muqaddimah al Zikr (petuah-petuah).
t.        ‘Asyar (kumpulan syair-syair).
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa semua karya Ibnu Miskawaih tidak  luput dari kepentingan filsafat dan akhlak. Sehubungan dengan itu Ibnu Miskawaih dikenal sebagai moralis.

2.3.  Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih
Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak yang bertujuan untuk mewujudkan pribadi susila, berwatak, berbudi pekerti mulia, sehingga diperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Pribadi yang susila, berwatak, berbudi pekerti mulia lahir dari perilaku-perilaku luhur, sedangkan perilaku luhur tersebut diperoleh dari jiwa atau watak yang baik. Untuk mendapatkan watak yang baik diperlukan adanya pendidikan. Maka dahulu Ibnu Miskawaih sempat menolak pemikir Yunani yang mengatakan bahwa watak tidak bisa dididik, karena watak itu alami.
Maksud dari watak disini adalah al-khulqu yang artinya suatu “kondisi jiwa” yang mendorong lahirnnya tingkah laku tanpa adanya proses berpikir dan pertimbangan. Kondisi jiwa dibagi menjadi dua, yaitu kondisi alami dan kondisi yang diperoleh dari kebiasaan setelah suatu perilaku dilakukan berulang meskipun pada mulanya dilakukan dengan sengaja.
Menurut Ibnu Miskawaih jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebut kanurutannya sebagai berikut:
a)         Al nafs bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
b)        Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang.
c)         Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.
Ibnu Miskawaih selalu menekankan pentingnya pembinaan akhlak, maka beliau memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak. Masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Masa ini, pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani dan dimulainya ufuk manusiawi.[2] Sehingga, anak-anak harus dididik akhlaq mulia dengan menyesuaikan rencana-rencananya atau materi pendidikan akhlak dengan urutan daya-daya yang ada pada anak-anak, yaitu daya berpikir, daya keberanian dan daya keinginan.
Dari ketiga daya tersebut lahirlah masing-masing sifat kebajikan yaitu hikmah, keberanian, dan kesederhanaan. Bila ketiga sifat kebajikan ini dapat berjalan serasi maka lahirlah sifat kebajikan yang keempat, yaitu adil. Sebaliknya lawan dari keempat sifat tersebut adalah bodoh, penakut, rakus, dan dzalim.[3]

2.3.1.   Materi pendidikan
Pendidikan akhlak menurutnya harus mencakup tiga hal pokok, yaitu pertama, hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, seperti: shalat, puasa, dan sa’i. Kedua, hal-hal yang wajib bagi jiwa, seperti: aqidah yang benar, mengesakan Allah. Ketiga, hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia, seperti: materi dalam ilmu mu’amalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, dll.
Ketiga materi pendidikan akhlaq tersebut dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (al ‘ulum al-fikriyah) dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indra (al ‘ulum al-hissiyyah). Dalam ketiga materi tersebut dapat dipahami bahwa pada materi pertama tergambar pada pendidikan jasmani,  materi kedua tergambar dalam pendidikan ruhani dan materi ketiga tergambar dalam pendidikan ketrampilan yang keseluruhan dari ketiga materi tersebut selalu terkait dengan pendidikan akhlak.
Ilmu-ilmu yang diajarkan tersebut bukan semata-mata demi tujuan akademis dalam pendidikan melainkan untuk mencapai substansi utamanya yaitu terciptanya kepribadian yang berakhlak mulia. Disamping itu, karena manusia merupakan makhluk sosial, maka memiliki kaitan erat dengan lingkungannya. Menurut Ibnu Miskawaih, kondisi lingkungan terkait dengan kondisi politik pemerintah. Sehingga untuk mencapai manusia yang berakhlak mulia, tidak saja tergantung pada proses pendidikan tetapi juga tergantung pada lingkungan tempat manusia itu hidup.



2.3.2.      Metode pendidikan
a.      Metode alami (tabi’iy)
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa ide pokok dari metode alami ini adalah dalam pelaksanaan kerja dan proses mendidik itu berdasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan manusia lahir batin, dan jasmaniah dan rohaniah.
b.      Nasihat dan tuntunan
Ibnu Miskawaih menyatakan supaya anak menaati syariat dan berbuat baik diperlukan nasihat dan tuntunan.
c.       Metode Hukuman
Ibnu Miskawaih mengindikasikan banyak sekali yang dapat dilakukan dalam mendidik salah satunya jika peserta didik tidak melaksanakan tata nilai yang telah diajarkan, mereka diberi sanksi berbagai cara sehingga mereka kembali pada tatanan nilai yang ada.
d.      Sanjungan dan pujian sebagai metode pendidikan
Menurutnya apabila peserta didik melaksanakan syariat dan berprilaku baik dia perlu dipuji.
e.       Mendidik berdasarkan asas-asas pendidikan
Menurutnya mendidik harus berdasarkan asas-asas pendidikan yaitu asas kesiapan, keteladanan, kebiasaan, dan pembiasaan.

2.3.3.      Pendidik dan Peserta
Pendidik yang dalam hal ini guru, instruktur, ustadz, atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik yang menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.
Kedua aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) ini mendapat perhatian yang khusus dari Ibnu Miskawaih. Menurutnya, orang tua merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat sebagai acuan utama materi pendidiknya. Karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibnu Miskawaih harus melebihi cintanya terhadap orang tuanya sendiri.
Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibnu Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar guru formal karena jabatan. Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya; pandai; dicintai; sejarah hidupnya jelas tidak tercemar di masyarakat. Disamping itu, ia hendaknya menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.



BAB III
PENUTUP

3.1.   Kesimpulan
Ibnu Miskawaih yang memiliki nama lengkap Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih, beliau dikenal sebagai “Bapak Etika Islam” dan tokoh moralis yang lahir dalam keluarga Islam yang ditunjukkan dengan nama ayahnya, yaitu Muhammad. Meskipun ada beberapa pendapat tokoh Barat yang mengatakan bahwa beliau seorang Majussi, mengikuti neneknya yang kemudian neneknya masuk Islam. Ada juga yang mengatakan bahwa Ibnu Miskawaih adalah Syi’ah dikarenakan beliau lama mengabdi pada Dinasti Buwaihi dan selalu mendapatkan posisi strategis disana. Akan tetapi, karena pengabdiannya itu membuahkan hasil. Akhirnya beliau diangkat menjadi Ketua Pemegang Amanah Khazanah yang bertanggungjawab menjaga perpustakaan Malik Adhdud Daulah. Karena itulah Ibnu Miskawaih semakin banyak mengkaji buku-buku filsafat Islam dan Yunani dalam perpustakaan tersebut hingga menjadikan beliau seorang ilmuan yang memiliki ilmu yang luas dalam berbagai bidang. Salah satunya adalah pemikiran filsafat mengenai pendidikan Islam.
Beliau merupakan seorang penulis yang produktif, hingga banyak buku yang ditulis beliau. Karya-karya beliau pada umumnya berbicara tentang jiwa dan akhlak (etika). Sesuai dengan pemikiran filsafat beliau mengenai pendidikan Islam yang menekankan pada aspek etika. Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak yang bertujuan untuk mewujudkan pribadi susila, berwatak, berbudi pekerti mulia, sehingga diperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Hal ini sejalan dengan yang diajarkan Rasulullah saw mengenai penyempurnaan akhlak manusia. Ibnu Miskawaih selalu memberikan perhatian khusus pada pendidikan anak-anak. Karena menurut beliau pada masa anak-anaklah seharusnya pendidikan akhlak diajarkan melalui keluarga sebagai lembaga pendidiknya dan syari’at Islam sebagai bahan ajarnya. Tentunya dalam segala proses pendidikan baik di lembaga formal maupun informal bukan hanya sekedar formalitas belaka, meliainkan untuk mencapai substansi utamanya yaitu menjadikan manusia yang bermoral yang memiliki akhlak mulia. Beliau membolehkan siapapun untuk menjadi apapun asalkan pendidikan etika selalu diajarkan di awal kehidupan seseorang.




DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Boedi. 2015.SejarahFilsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia
Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras
Nasution, Hasyimsyah. 2013. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
Nasution, Hasyimsyah. 2015. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
Sahrodin. 2016. Pemikiran Pendidikan menurut Ibnu Miskawaih dan IbnuSina. Jurnal An-Nur, (Online), Vol. 3, No. 2, (http://ejournal.stainnur.ac.id, diakses 16 November 2017).
Normuslim. 2003. Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih dan Al-Qabisi, Relevansinya dengan Sistem Pendidikan Kontemporer. JurnalHimmah, (Online), Vol. IV, No. 09, (http://fauziannor.files.wordpress.com, diakses 16 November 2017).




[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2015), hlm. 55.
[2] Daudy, hlm. 62. Lihat juga Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), hlm. 65.
[3] Abdurrahman Badawi, “Miskawaih”, dalam Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2015), hlm. 62.